Kamis, 05 Mei 2011

Opini pernikahan abad ini ( pangeran william & kate )


COBA  bayangkan halaman terakhir komik dongeng HC Andersen. Seperti itulah pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton: pangeran tampan di dunia nyata abad ke-21 akhirnya menemukan putri cantik yang baik hati dari keluarga orang biasa.

Kereta kuda berhias emas melewati jalan yang dipenuhi bendera dan umbul-umbul. Rakyat yang sejahtera menyambut dengan riang di sepanjang jalan sambil melempari bunga ke arah pangeran bersama istri yang melambaikan tangan dan tersenyum bahagia.
 
Prosesinya dan gegap gempitanya sama. Sebuah negara demokrasi dengan sistem parlemen yang dinamis berupaya semaksimal mungkin mewujudkan dongeng kerajaan. Beberapa hari sebelum pernikahan, rute Westminster Abbey dan Istana Buckingham, serta kawasan sekitarnya sudah ditutup. Polisi berupaya meminta wewenang tambahan untuk memastikan keamanan perhelatan kerajaan terbesar dunia sejak pernikahan Pangeran Charles dan Putri Diana pada tahun 1981 silam. Seluruh negeri berpesta pada hari yang ditetapkan sebagai libur nasional. 

Bedanya, di komik HC Andersen itu merupakan halaman terakhir, sedangkan di London, Jumat, 29 April 2011, adalah sebuah awal. Selayaknya di dunia nyata, pernikahan adalah sebuah awal. Pemberkatan nikah Pangeran William dan Kate Middleton bukan di St Paul Cathedral, tempat ayah dan ibunya menikah 30 tahun lalu. Kabarnya, supaya jalur kehidupan pernikahannya juga berbeda. Sebuah negara di Pasifik, Nieu, mengeluarkan prangko bergambar Pangeran William dan Kate Middleton dengan lobang sobekan di bagian tengah. 

Jika bersatu, prangko itu nilainya USD6,80, tapi orang bisa merobeknya untuk digunakan terpisah: Pangeran William USD3,40 dan Kate Middleton USD2,40.
 
Dan, seorang nenek jauh Kate Middleton dalam program dokumentasi BBC secara terus terang di depan kamera mempertanyakan keputusan Kate untuk menikah dengan keluarga kerajaan. Seluruh dunia tahu kelanjutan cinta Pangeran Charles dan Putri Diana, dan banyak pula yang tahu paman Pangeran William, Pangeran Andrew, sudah berpisah dengan istrinya, Sarah Ferguson. Namun, masa depan pernikahan adalah urusan pribadi Pangeran William dan Kate, walau pernikahannya jelas tidak. 

Brand Inggris

Di luar rumah tangga William dan Kate, pernikahan kerajaan Inggris juga bisa dilihat sebagai upaya awal bagi kebangkitan Inggris di panggung global. Pada abad ke-21 ini, rasanya tak banyak lagi yang diingat warga dunia tentang Inggris. Salah satu brand global Inggris yang terkenal, Manchester United, adalah milik saudagar Amerika, sementara Jaguar dan Land Rover sudah dibeli industri mobil India, Tata. Dalam kebijakan luar negeri, masih sulit rasanya melepas citra Inggris yang mengekor Presiden George W Bush di Perang Irak dan Afghanistan. Di Libya sekarang ini, Prancis yang lebih memimpin walau Inggris termasuk salah satu yang memelopori serangan udara pihak NATO.
 
Jelas masih ada Mark & Spencer atau musik pop Inggris, Adele, yang berhasil memecahkan rekor Madonna di puncak tangga lagu pop Amerika, dan sastrawan Shakespeare dengan karya-karyanya yang masih diterjemahkan, dipentaskan, dan jadi bahan studi di seluruh dunia, maupun program TV Pop Idol.

Dan, tentu saja Kerajaan Inggris, yang tidak akan bisa atau boleh dibeli oleh saudagar dari mana pun dan juga tidak mungkin dipindahkan ke luar negeri. Brand-nya sudah melekat dalam rencana banyak perjalanan wisata warga dunia.
 
Musim panas tahun lalu saja, misalnya, sebanyak 413.000 turis masuk ke Istana Buckingham, yang dibuka untuk umum. Mereka adalah yang membeli tiket, jadi bukan sekadar menyaksikan gratis pergantian pengawal di luar istana. Kantor Pusat Statistik Nasional juga mencatat pada kuartal keempat 2010 tercatat 7,1 juta turis asing ke Inggris dan bisa dipastikan hampir sebagian besar berfoto di depan Istana Buckingham.
 
Pernikahan William dan Kate diperkirakan membawa pemasukan 100 juta poundsterling, hanya dari akomodasi para turis, para wartawan asing, maupun para keluarga kerajaan negara sahabat beserta “dayang- dayangnya”. Jika dihitung lengkap dengan belanjanya, penjualan cenderamata, plus jasa-jasa lain, bos Visit- Britain Sandie Dawe memperkirakan pemasukan berkaitan dengan pesta sehari itu bisa mencapai 900 juta poundsterling, atau sekitar 5 kali lipat dari target pemasukan Wonderful Indonesia2011 dalam waktu 365 hari, USD8,3 miliar.
 
Taruhlah pernikahan Pangeran William dan Kate tidak adahubungandenganupaya pariwisata atau citra Inggris selain kisah cinta semata, namun secara bersamaan Inggris akan punya perhelatan besar lain. 

Jika pernikahan Pangeran Charles dan Putri Diana disaksikan 750 juta pemirsa di seluruh dunia, maka dengan kemajuan internet dan berbagai jenis peralatan genggam penerima video, jumlah pemirsa pada Jumat 29 April diperkirakan mencapai 2 miliar. Inggris akan diintip oleh banyak orang dan ternyata ada banyak hal di dalamnya. Pernikahan William dan Kate adalah gerbang masuknya. 

Britishness 

Pada minggu pertama Juni 2012, Inggris akan merayakan Tahun Berlian atau enam puluh tahun takhta Ratu Elizabeth II. Pesta rakyat akan digelar selama sepekan penuh. Walau tidak segegap gempita perkawinan Pangeran William dan Kate Middleton, perayaan 60 tahun kekuasaan Ratu akan menjadi salah satu momen penguat bagi warga dunia untuk kembali melirik ke Inggris.
 
Karena itu, ketika Olimpiade London dibuka pada 27 Juli 2012, seluruh warga dunia diharapkan sudah otomatis terhipnotis oleh Inggris. Dengan semangat keterlibatan masyarakat, akrab lingkungan, dan penggunaan aktif semua sarana pasca-Olimpiade, London yakin akan bisa mengalahkan Beijing dan olimpiade lain. Arena lomba arung jeram Olimpiade pekan lalu dibuka dan warga umum sudah bisa membayar untuk ikut menikmati. Ada juga wisata gratis Taman Olimpiade lewat pendaftaran di internet. Sambil menelusuri kompleks Olimpiade yang sedang dibangun, saya banyak mendengar cerita efisiensi di balik tiap bangunan dan kegunaannya setelah pesta olahraga itu usai.
 
Jadi, Inggris bukan China yang menempatkan warganya terpinggirkan demi kemajuan, juga bukan Amerika Serikat yang bergelimang uang, atau Prancis yang selalu tampil beda. Inggris adalah kebersamaan yang erat, solidaritas bersama yang kuat, dengan figur kerajaan yang dihormati—yang sudah dianggap terbukti mempertahankan Inggris dari serangan Nazi pada Perang Dunia II (ingat film “The King’s Speech” yang mendominasi Oscar 2011): Britishness akan kembali ke panggung global dunia pada abad ke-21. 

Soal lokal 

Salah satu rekan kerja saya, warga Inggris, yang berusia 60-an tahun memastikan akan duduk di depan TV menyaksikan pernikahan Pangeran William dan Kate. Seharian, rencananya, dia akan berada di depan TV, juga setelah Pangeran William dan istrinya bersama keluarga Ratu Elizabeth II tampil di balkon Istana Buckingham. Beberapa kampung bahkan rencananya menggelar pesta jalanan: menutup jalan dan nonton bareng sambil makan siang. 

Apa pun keputusan masingmasing orang, pernikahan kerajaan ini bisa menjadi semacam penghibur di tengah-tengah pengetatan ekonomi. Institut Fiscal Studies memperkirakan rencana pemotongan anggaran belanja pemerintah koalisi sebesar 81 miliar poundsterling selama empat tahun akan menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) setengah juta pekerja sektor umum. Dengan inflasi pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 4 persen lebih, maka keluarga rata-rata di Inggris akan menjadi lebih miskin sekitar 600 poundsterling hingga 1.400 poundsterling per tahunnya.
 
Dalam kondisi seperti itu, peristiwa-peristiwa yang luar biasa, seperti pernikahan William- Kate, diharapkan bisa mendongkrak ekonomi maupun suasana hati. Keluarga yang sudah memutuskan pengetatan anggaran rumah tangga, mungkin akan tergerak juga untuk belanja ekstra, baik berupa cenderamata maupun produk konsumsi lainnya, seperti TV layar datar yang lebih lebar untuk siaran langsung dari Westminster Abbey dan Istana Buckingham.
 
Dan, diam-diam, para pemuka masyarakat, juga berharap pernikahan Pangeran William dan Kate menjadi panutan bagi kaum muda Inggris. Kantor Pusat Statistik, akhir Maret lalu, baru mengeluarkan angka perkawinan di Inggris sepanjang 2009 yang mencapai titik terendah sejak pencatatan perkawinan sipil dilakukan pada 1862. Hanya 21,3 orang dari 1.000 pria berusia 16 tahun ke atas yang menikah, turun dari 22,0 pada tahun sebelumnya. Penurunan tingkat perkawinan juga menurun di kalangan perempuan, dari 19,9 menjadi 19,2. 

Dan, Uskup Agung dalam ucapan resminya delapan hari menjelang pernikahan William dan Kate menegaskan pentingnya komitmen pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton. Semakin lemahnya pandangan atas lembaga perkawinan di kalangan kaum muda Inggris membuat William dan Kate cukup tepat dijadikan sebagai model peran kaum muda, yang tampan, cantik, kaya, modern, dan baik hati.
 
“William dan Kate memberikan komitmen di depan umum dan sebagai orang muda yang realistis, mereka tahu konsekuensinya,” kata Uskup Agung, seperti dikutip Harian The Daily Telegraph. Pernikahan William dan Kate memang baru awal.
 

diskusi kelompok

1. Saat ini banyak perusahaan yang melakukan pengembangan Web Diperusahaannya, Berikan contoh nama pengembangan Web diperusahaan anda atau dunia pendidikan?


jawab : www.mercubuana.ac.id dan www.polri.go.id

-.menerut saya dengan adanya web di dunia pendidikan seperti www.mercubuana.ac.id memudahkan calon mahasiswa baru yang ingin mengetahui universitas mercu buana, karna melalui web yg ada mereka bisa mencari tau tentang universitas tersebut dan bagi mahasiswa yang sudah ada dapat melihat sebuah informasi yang terupdate ataupun terbaru..
-.menerut saya dengan adanya web disuatu perusahan seperti www.polri.go.id yaitu sebuah web di perusahaan pemerintahan yaitu lembaga kepolisian dapat mempermudah masyarakat luas yang ingin mengetahui perkembangan dilembaga kepolosian ataupum masrakat yang ingin mencari tau seputar lowongan kerja dilembaga kepolisian ini.


2. Mengapa biasanya dibulan desember banyak yang tercetus ide pengembangan Web sebagai alat untuk commerce?


jawab : karna disetiap awal tahun biasanya sebuah dunia pendidikan ataupun perusahaan dapat mengeluarkan sebuah informasi yang di butuhkan oleh masyrakat banyak.dan bagi dunia usaha dapat mempromosikan suatu produk terbaru yang dapat dilihat oleh masyarakat agar dapat membeli produk tersebut.


3. Apa perbedaan tingkat komunikasi yang terjadi di Web & apa yang membedakan fungsi komunikasi dalam pelayanan di Web?


jawab : tingkat komunikasi yang ada di web sangat memudahkan masyarakat luas untuk mengetahui perkembangan yang ada dan dapat diakses dimanapun tanpa harus mendatangi suatu tempat yang ingin diketahuinya.. seperti sebuah web pendidikan dan sebuah web perusahan mereka bisa melihat apa yang ada di lembaga pendidikan tersebut dan di lembaga perusahaan tersebut.





Selasa, 03 Mei 2011

KEBIJAKAN DUNIA TENTANG ELEKTRONIK: ISU DAN ETIKA




Lahirnya etika komputer sebagai sebuah disiplin ilmu baru dalam bidang teknologi tidak dapat dipisahkan dari permasalahan-permasalahan seputar penggunaan komputer yang meliputi kejahatan komputer, netiket, ''e-commerce'', pelanggaran HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelekstual) dan tanggung jawab profesi. 


=== '''Kejahatan Komputer''' ===


Kejahatan komputer atau ''computer crime'' adalah kejahatan yang ditimbulkan karena penggunaan komputer secara ilegal. Kejahatan komputer terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi komputer saat ini. Beberapa jenis kejahatan komputer meliputi ''Denial of Services'' (melumpuhkan layanan sebuah sistem komputer), penyebaran [[virus]], ''spam'', ''carding'' (pencurian melalui internet) dan lain-lain. 


=== '''Netiket''' ===

[[Internet]] merupakan aspek penting dalam perkembangan teknologi komputer. Internet merupakan sebuah jaringan yang menghubungkan komputer di dunia sehingga komputer dapat mengakses satu sama lain. Internet menjadi peluang baru dalam perkembangan [[bisnis]], [[pendidikan]], [[kesehatan]], layanan pemerintah dan bidang-bidang lainnya. Melalui internet, interaksi manusia dapat dilakukan tanpa harus bertatap muka. Tingginya tingkat pemakaian internet di dunia melahirkan sebuah aturan baru di bidang internet yaitu netiket. Netiket merupakan sebuah etika acuan dalam berkomunikasi menggunakan internet. Standar netiket ditetapkan oleh IETF (''The Internet Engineering Task Force''), sebuah [[komunitas]] internasional yang terdiri dari operator, perancang jaringan dan peneliti yang terkait dengan pengoperasian internet.


=== '''''E-commerce''''' ===

Berkembangnya penggunaan internet di dunia berpengaruh terhadap kondisi [[ekonomi]] dan perdagangan negara. Melalui internet, transaksi perdagangan dapat dilakukan dengan cepat dan efisien. Akan tetapi, perdagangan melalui internet atau yang lebih dikenal dengan ''e-commerce'' ini menghasilkan permasalahan baru seperti perlindungan konsumen, permasalahan kontrak transaksi, masalah pajak dan kasus-kasus pemalsuan tanda tangan digital. Untuk menangani permasalahan tersebut, para penjual dan pembeli menggunakan ''Uncitral Model Law on Electronic Commerce'' 1996 sebagai acuan dalam melakukan transaksi lewat internet.


=== '''Pelanggaran HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual)''' ===

Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh internet menyebabkan terjadinya pelanggaran HAKI seperti pembajakan program komputer, penjualan program ilegal dan pengunduhan ilegal.


=== '''Tanggung Jawab Profesi''' ===


Berkembangnya teknologi komputer telah membuka lapangan kerja baru seperti ''programmer'', teknisi mesin komputer, [[desainer grafis]] dan lain-lain. Para pekerja memiliki interaksi yang sangat tinggi dengan komputer sehingga diperlukan pemahaman mendalam mengenai etika komputer dan tanggung jawab profesi yang berlaku.

TEKNOLOGI BARU DAN WILAYAH PUBLIK

Demokrasi Elektronik



Dimana dalam arti tertentu partisipasi publik dimanifestasikan melalui media teknologi - contoh internet. Barry N. Hague dalam pengantar buku antologi tentang diskursus demokrasi elektronik (1999) menjelaskan beberapa unsur demokrasi yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi digital. Di antaranya adalah: sifatnya yang interaktif; proses interaktif mengandaikan adanya komunikasi yang bersifat resiprokalitas, semua warga negara bisa berdialog secara interaktif.
Lalu lewat demokrasi digital juga dijamin Kebebasan berbicara; sehingga pengguna internet  atau teknologi informasi dapat mengekspresikan dirinya tanpa kontrol yang signifikan dari penguasa. Setiap warga negara misalnya bisa secara diskursif mengetengahkan gagasan-gagasannya yang paling gila sekalipun. Selain itu terbentuknya komunitas virtual yang peduli terhadap kepentingan publik dan komunikasi global  yang tidak terbatas pada satu negara-bangsa. Lewat demokrasi digital juga informasi atau kajian politik dapat diproduksi secara bebas dan disebarkan ke ruang publik virtual untuk diuji.
Melihat paparan Barry N. Hague tersebut di atas adalah jelas bahwa demokrasi digital menekankan partisipasi dalam ruang publik virtual. Sehingga diskursus sepenuhnya dimanifestasikan secara bebas dalam demokrasi digital; lewat surat elektronik, newsgroup, milis, live discussion, website dan bentuk-bentuk lain dari perkembangan TI yang dapat disesuaikan. Berawal dari sini dipahami bahwa ada semacam dialektika antara teknologi dan masyarakat. Dialektika ini menghasilkan satu terma yang bernama demokrasi digital.
Di dalamnya setiap orang bebas mengungkapkan pendapatnya secara langsung. Karena itulah demokrasi digital dapat dikatakan mempunyai bentuk yang kira-kira sama dengan demokrasi yang dipraktikan pada zaman Yunani dan Roma kuno. Selain lewat teknologi informasi, seperti kita ketahui ruang publik juga disediakan oleh industri media massa seperti televisi, radio, koran atau majalah.

Kesenjangan digital


Mampukah kita (akhirnya) menerima kenyataan bahwa kesenjangan digital adalah isu science fiction semata yang diciptakan oleh sekelompok eksklusif manusia-manusia pemuja teknologi informasi (TI)? Ya memang, kesenjangan digital, atau kalau mau dikembalikan ke bahasa nenek-moyangnya adalah digital divide, kerap menjadi "bumbu penyedap" banyak pihak ketika berbicara di depan khalayak.

IT paranoid? IT phobia? Bisa ya, bisa tidak. Tergantung dimana kita berpijak dan ke arah mana kita memandang. Dalam majalah Newsweek edisi 25 Maret 2002, ada satu artikel menarik yang berjudul "Debunking the Myths of the Digital Divide". Menurut artikel tersebut, kesenjangan digital (akhirnya) hanya dipahami sebagai gap antara pemilik/pengguna teknologi (the haves) dan mereka yang tidak memiliki/menggunakan teknologi (the have nots). Kaum the have, saya yakini benar, sebagai pihak pertama-tama mengada-adakan apa yang kita kenal sebagai kesenjangan digital tersebut. 

Mari kita lanjutkan sedikit dari artikel Newsweek tersebut. Artikel tersebut mengutip penelitian yang dilakukan oleh David Card, ekonom dari University of California dan John DiNardo, ekonom dari University of Michigan. Menurut Card dan DiNardo, ternyata komputer menyebabkan semakin melebarnya rentang gaji antara yang tertinggi dengan yang terendah. Penjelasannya begini, peningkatan penggunaan komputer di berbagai aspek pekerjaan meningkatkan kebutuhan tenaga kerja yang high-skilled yang notabene tentu akan membutuhkan gaji yang lebih tinggi. Di lain pihak proses komputerisasi yang dapat melakukan proses-proses pekerjaan rutin, mengurangi kebutuhan tenaga kerja yang low-skilled dan tentu saja akan sesuai kaidah permintaan-penawaran hukum ekonomi, gaji mereka pun akan semakin rendah. 

Tentu saja, Card dan DiNardo tidak serta-merta menyalahkan komputer untuk fenomena tersebut. "Dengan peningkatan penggunaan komputer, rentang gaji akan terus melebar jika ternyata diikuti pula dengan terjadinya perubahan kebutuhan terhadap skill dari tenaga kerja," ujar mereka. Masuk akal bukan? Mari kita buka mata dan hati, serta lihat sekeliling tempat kita bekerja saat ini. Apakah hasil penelitian tersebut ternyata benar-benar terjadi? 

"The digital divide suggested a simple solution (computers) for a complex problem (poverty). With more computer access, the poor could escape their lot. But computers never were the souce of anyone's poverty and, as for escaping, what people do for themselves matters more than what technology can do for them", demikian penekanan pada artikel pada majalah Newsweek tersebut.

Sebenarnya, judul artikel yang sedang Anda baca ini saya "pinjam" dari sebuah judul buku yang saya fotokopi dari perpustakaan British Council Jakarta. "The Digital Divide, Facing a Crisis or Creating a Myth?". Buku tersebut terbitan MIT Press Sourcebooks tahun 2001. Di dalamnya ada 20 artikel menarik dari penulis yang berbeda, mencoba menggambarkan apa sih sebenarnya Digital Divide itu. Saya pinjam, saya fotokopi, saya baca, dan saya makin ragu. Sebagian tulisan tersebut ada yang menyatakan bahwa kesenjangan digital memang benar-benar ada, sebagian yang lain menyatakan sebaliknya. Kedua belah pihak sama-sama berlandaskan pada angka-angka statistik. 

Sekedar intermezzo, jangan mudah percaya dengan angka statistik. Sesekali, ketika Anda ke toko buku, carilah buku berjudul "Berbohong dengan Statistik", tulisan Darrel Huff dan terbitan KPG tahun 2002. Bacalah di tempat, kalau Anda tidak ingin membelinya, maka Anda akan paham mengapa saya selalu kritis dan menganjurkan untuk tidak mudah percaya angka-angka statistik. 

Kembali ke pokok persoalan. Dengan mengkomparasi pengalaman di lapangan dan berlandaskan beberapa pemahaman dari berbagai literatur, akhirnya muncul dalam benak saya beberapa pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya retoris, atau tidak perlu jawaban (kecuali jika Anda nekat untuk menjawabnya, silakan layangkan e-mail kepada saya). Pertanyaan saya sebenarnya sangat mendasar, karena dengan pertanyaan tersebutlah sebenarnya kita bisa mencoba menggali kebenaran dari kesenjangan digital. Berikut ini pertanyaan saya:

==========
a)
Kalau saya tidak punya ponsel dan Anda punya, apakah antara saya dan Anda telah terjadi kesenjangan digital? Atau kalau Anda tidak punya komputer dan saya punya Pentium IV, terjadikah kesenjangan digital? Kalau ya, apakah kita bisa yakin ini bukan propaganda para penjaja  ponsel atau komputer untuk melariskan dagangannya dengan meracuni pikiran saya untuk membeli ponsel atau pikiran Anda untuk membeli komputer yang lebih canggih daripada yang saya miliki?

b)
Kalau profesi saya dokter, dan Anda adalah ahli komputer, lalu saya tidak menggunakan komputer seperti Anda, apakah terjadi kesenjangan digital? Kalau iya, untuk menjembatani digital divide itu apakah saya harus punya komputer juga? Kalau demikian caranya, kalau Anda tidak punya stetoskop mengapa tidak Anda tidak disarankan memiliki stetoskop juga? Apakah saya benar-benar membutuhkan komputer sebagaimana kebutuhan Anda?

c)
Kalau kesenjangan digital yang dimaksud adalah antar sesama profesi, bukankah lebih tepat kesenjangan informasi? Misalnya petani daerah A lebih paham tentang teknik terbaru pertanian ketimbang petani daerah B, lantaran petani A banyak mendapatkan informasi pertanian dari Internet. Menurut saya, masalahnya bukan terletak pada punya atau tidaknya komputer dan akses Internet, tetapi tersedianya alternatif akses menuju ke informasi pertanian tersebut. Tidakkah ada cara lain selain menggunakan komputer dan Internet untuk menyamakan ilmu para petani tersebut? Karena tidak semua petani berniat, memiliki waktu atau mampu mengadopsi TI. 

Apakah dengan memasang warnet ke daerah B lalu sim-salabim petani di daerah tersebut dapat menjadi lebih maju atau setidaknya setara dengan petani  daerah A? Bukankah petani lebih membutuhkan alat membajak dan ilmu pertanian ketimbang diajari komputer dan Internet? Benarkah biaya mendidik petani agar paham komputer dan Internet setara dengan nilai hasil pertaniannya? Ataukah biaya pendidikan komputer tersebut memang lebih murah ketimbang mendatangkan penyuluh lapangan yang secara pro-aktif membimbing para petani? (silakan ganti kata-kata "petani" dan "pertanian"tersebut dengan profesi lainnya, misalnya "guru" dan "mengajar", "dokter" dan "pengobatan", dan sebagainya).

d)
Kalau kesenjangan informasi (konsep kesenjangan digital saya anggap tidak relevan lagi) adalah antar dua profesi yang berbeda, apakah mungkin terjadi kesenjangan informasi kalau alat produksi yang digunakannya berbeda? Anggaplah saya tiap hari menggunakan komputer (dan internet) sebagai bagian dari kehidupan dan mata pencaharian saya. Lalu apakah saya bisa secara serta-merta mengatakan bahwa komputer itu sangat penting kepada rekan-rekan saya yang profesinya adalah sebagai petani, guru atau dokter? Saya hanya bisa mengatakan kepada mereka bahwa komputer adalah dapat untuk mengakses informasi lebih dalam tentang suatu keilmuan, tetapi saya tidak bisa memaksakan bahwa kesenjangan informasi harus dijembatani dengan produk digital atau TI. 
==========


Kembali kepada fakta yang ada, sekarang kita dikejar oleh ketakutan akan semakin melebarnya kesenjangan digital antar siswa, antar pekerja, antar sekolah, antar institusi bahkan antar negara. Kita berlomba-lomba mengadopsi teknologi terkini, at any cost. Tidakkah terpikirkan oleh kita bahwa nafsu kita tersebut terkadan membuat kita memicingkan mata dan mencibirkan mulut kepada kaum the have nots? Kita kerap memandang lebih rendah derajat mereka yang tidak menggunakan komputer ataupun ponsel. 

Gaptek (gagap teknologi) istilah kita! Labelisasi gaptek dan pemahaman buta tentang kesenjangan digital memperburuk kondisi. Selain seperti yang ditulis oleh majalah Newsweek tentang semakin melebarnya rentang gaji dan semakin rendahnya gaji orang-orang yang tidak mampu memiliki keahlian komputer atau kerjanya tergantikan oleh komputer, hal tersebut membuat banyak pihak di Indonesia yang berjuang mendapatkan ilmu dan perangkat komputer. Keluarga, orang tua, anak, sekolah, guru dan murid yang belum atau belum perlu menggunakan komputer dan Internet, akhirnya harus tertatih-tatih berupaya mendatangkan "jendela dunia" digital tersebut dihadapan mereka, karena mereka tidak diberikan opsi untuk memilih alternatif untuk "tidak membeli" atau "tidak menggunakan", perangkat digital apapun bentuknya, berikut dengan solusi alternatifnya.

Dari sistem utangan (dari level ngutang ke tetangga sampai level ngutang ke lembaga donor dan negara lain) hingga sistem cicilan (dari level ngridit sampai level kartu kredit), dilakukan demi memiliki seperangkat alat digital yang sebenarnya belum benar-benar mereka butuhkan. Siapa yang paling diuntungkan? 

Ijinkan saya menutup tulisan ini dengan mengutip bagian pengantar dari buku The Digital Divide. 

"No technology, in itsef, will ever eliminate the diffrences that arise among people who effectively utilize a technology and those who do not. Internet content can be created to allows everyone the opportunity to leard read, and as a readers, take full advantage of the information resources that exist and are being created. The divide between those who can read well and those who cannot is a real divide."