Selasa, 03 Mei 2011

TEKNOLOGI BARU DAN WILAYAH PUBLIK

Demokrasi Elektronik



Dimana dalam arti tertentu partisipasi publik dimanifestasikan melalui media teknologi - contoh internet. Barry N. Hague dalam pengantar buku antologi tentang diskursus demokrasi elektronik (1999) menjelaskan beberapa unsur demokrasi yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi digital. Di antaranya adalah: sifatnya yang interaktif; proses interaktif mengandaikan adanya komunikasi yang bersifat resiprokalitas, semua warga negara bisa berdialog secara interaktif.
Lalu lewat demokrasi digital juga dijamin Kebebasan berbicara; sehingga pengguna internet  atau teknologi informasi dapat mengekspresikan dirinya tanpa kontrol yang signifikan dari penguasa. Setiap warga negara misalnya bisa secara diskursif mengetengahkan gagasan-gagasannya yang paling gila sekalipun. Selain itu terbentuknya komunitas virtual yang peduli terhadap kepentingan publik dan komunikasi global  yang tidak terbatas pada satu negara-bangsa. Lewat demokrasi digital juga informasi atau kajian politik dapat diproduksi secara bebas dan disebarkan ke ruang publik virtual untuk diuji.
Melihat paparan Barry N. Hague tersebut di atas adalah jelas bahwa demokrasi digital menekankan partisipasi dalam ruang publik virtual. Sehingga diskursus sepenuhnya dimanifestasikan secara bebas dalam demokrasi digital; lewat surat elektronik, newsgroup, milis, live discussion, website dan bentuk-bentuk lain dari perkembangan TI yang dapat disesuaikan. Berawal dari sini dipahami bahwa ada semacam dialektika antara teknologi dan masyarakat. Dialektika ini menghasilkan satu terma yang bernama demokrasi digital.
Di dalamnya setiap orang bebas mengungkapkan pendapatnya secara langsung. Karena itulah demokrasi digital dapat dikatakan mempunyai bentuk yang kira-kira sama dengan demokrasi yang dipraktikan pada zaman Yunani dan Roma kuno. Selain lewat teknologi informasi, seperti kita ketahui ruang publik juga disediakan oleh industri media massa seperti televisi, radio, koran atau majalah.

Kesenjangan digital


Mampukah kita (akhirnya) menerima kenyataan bahwa kesenjangan digital adalah isu science fiction semata yang diciptakan oleh sekelompok eksklusif manusia-manusia pemuja teknologi informasi (TI)? Ya memang, kesenjangan digital, atau kalau mau dikembalikan ke bahasa nenek-moyangnya adalah digital divide, kerap menjadi "bumbu penyedap" banyak pihak ketika berbicara di depan khalayak.

IT paranoid? IT phobia? Bisa ya, bisa tidak. Tergantung dimana kita berpijak dan ke arah mana kita memandang. Dalam majalah Newsweek edisi 25 Maret 2002, ada satu artikel menarik yang berjudul "Debunking the Myths of the Digital Divide". Menurut artikel tersebut, kesenjangan digital (akhirnya) hanya dipahami sebagai gap antara pemilik/pengguna teknologi (the haves) dan mereka yang tidak memiliki/menggunakan teknologi (the have nots). Kaum the have, saya yakini benar, sebagai pihak pertama-tama mengada-adakan apa yang kita kenal sebagai kesenjangan digital tersebut. 

Mari kita lanjutkan sedikit dari artikel Newsweek tersebut. Artikel tersebut mengutip penelitian yang dilakukan oleh David Card, ekonom dari University of California dan John DiNardo, ekonom dari University of Michigan. Menurut Card dan DiNardo, ternyata komputer menyebabkan semakin melebarnya rentang gaji antara yang tertinggi dengan yang terendah. Penjelasannya begini, peningkatan penggunaan komputer di berbagai aspek pekerjaan meningkatkan kebutuhan tenaga kerja yang high-skilled yang notabene tentu akan membutuhkan gaji yang lebih tinggi. Di lain pihak proses komputerisasi yang dapat melakukan proses-proses pekerjaan rutin, mengurangi kebutuhan tenaga kerja yang low-skilled dan tentu saja akan sesuai kaidah permintaan-penawaran hukum ekonomi, gaji mereka pun akan semakin rendah. 

Tentu saja, Card dan DiNardo tidak serta-merta menyalahkan komputer untuk fenomena tersebut. "Dengan peningkatan penggunaan komputer, rentang gaji akan terus melebar jika ternyata diikuti pula dengan terjadinya perubahan kebutuhan terhadap skill dari tenaga kerja," ujar mereka. Masuk akal bukan? Mari kita buka mata dan hati, serta lihat sekeliling tempat kita bekerja saat ini. Apakah hasil penelitian tersebut ternyata benar-benar terjadi? 

"The digital divide suggested a simple solution (computers) for a complex problem (poverty). With more computer access, the poor could escape their lot. But computers never were the souce of anyone's poverty and, as for escaping, what people do for themselves matters more than what technology can do for them", demikian penekanan pada artikel pada majalah Newsweek tersebut.

Sebenarnya, judul artikel yang sedang Anda baca ini saya "pinjam" dari sebuah judul buku yang saya fotokopi dari perpustakaan British Council Jakarta. "The Digital Divide, Facing a Crisis or Creating a Myth?". Buku tersebut terbitan MIT Press Sourcebooks tahun 2001. Di dalamnya ada 20 artikel menarik dari penulis yang berbeda, mencoba menggambarkan apa sih sebenarnya Digital Divide itu. Saya pinjam, saya fotokopi, saya baca, dan saya makin ragu. Sebagian tulisan tersebut ada yang menyatakan bahwa kesenjangan digital memang benar-benar ada, sebagian yang lain menyatakan sebaliknya. Kedua belah pihak sama-sama berlandaskan pada angka-angka statistik. 

Sekedar intermezzo, jangan mudah percaya dengan angka statistik. Sesekali, ketika Anda ke toko buku, carilah buku berjudul "Berbohong dengan Statistik", tulisan Darrel Huff dan terbitan KPG tahun 2002. Bacalah di tempat, kalau Anda tidak ingin membelinya, maka Anda akan paham mengapa saya selalu kritis dan menganjurkan untuk tidak mudah percaya angka-angka statistik. 

Kembali ke pokok persoalan. Dengan mengkomparasi pengalaman di lapangan dan berlandaskan beberapa pemahaman dari berbagai literatur, akhirnya muncul dalam benak saya beberapa pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya retoris, atau tidak perlu jawaban (kecuali jika Anda nekat untuk menjawabnya, silakan layangkan e-mail kepada saya). Pertanyaan saya sebenarnya sangat mendasar, karena dengan pertanyaan tersebutlah sebenarnya kita bisa mencoba menggali kebenaran dari kesenjangan digital. Berikut ini pertanyaan saya:

==========
a)
Kalau saya tidak punya ponsel dan Anda punya, apakah antara saya dan Anda telah terjadi kesenjangan digital? Atau kalau Anda tidak punya komputer dan saya punya Pentium IV, terjadikah kesenjangan digital? Kalau ya, apakah kita bisa yakin ini bukan propaganda para penjaja  ponsel atau komputer untuk melariskan dagangannya dengan meracuni pikiran saya untuk membeli ponsel atau pikiran Anda untuk membeli komputer yang lebih canggih daripada yang saya miliki?

b)
Kalau profesi saya dokter, dan Anda adalah ahli komputer, lalu saya tidak menggunakan komputer seperti Anda, apakah terjadi kesenjangan digital? Kalau iya, untuk menjembatani digital divide itu apakah saya harus punya komputer juga? Kalau demikian caranya, kalau Anda tidak punya stetoskop mengapa tidak Anda tidak disarankan memiliki stetoskop juga? Apakah saya benar-benar membutuhkan komputer sebagaimana kebutuhan Anda?

c)
Kalau kesenjangan digital yang dimaksud adalah antar sesama profesi, bukankah lebih tepat kesenjangan informasi? Misalnya petani daerah A lebih paham tentang teknik terbaru pertanian ketimbang petani daerah B, lantaran petani A banyak mendapatkan informasi pertanian dari Internet. Menurut saya, masalahnya bukan terletak pada punya atau tidaknya komputer dan akses Internet, tetapi tersedianya alternatif akses menuju ke informasi pertanian tersebut. Tidakkah ada cara lain selain menggunakan komputer dan Internet untuk menyamakan ilmu para petani tersebut? Karena tidak semua petani berniat, memiliki waktu atau mampu mengadopsi TI. 

Apakah dengan memasang warnet ke daerah B lalu sim-salabim petani di daerah tersebut dapat menjadi lebih maju atau setidaknya setara dengan petani  daerah A? Bukankah petani lebih membutuhkan alat membajak dan ilmu pertanian ketimbang diajari komputer dan Internet? Benarkah biaya mendidik petani agar paham komputer dan Internet setara dengan nilai hasil pertaniannya? Ataukah biaya pendidikan komputer tersebut memang lebih murah ketimbang mendatangkan penyuluh lapangan yang secara pro-aktif membimbing para petani? (silakan ganti kata-kata "petani" dan "pertanian"tersebut dengan profesi lainnya, misalnya "guru" dan "mengajar", "dokter" dan "pengobatan", dan sebagainya).

d)
Kalau kesenjangan informasi (konsep kesenjangan digital saya anggap tidak relevan lagi) adalah antar dua profesi yang berbeda, apakah mungkin terjadi kesenjangan informasi kalau alat produksi yang digunakannya berbeda? Anggaplah saya tiap hari menggunakan komputer (dan internet) sebagai bagian dari kehidupan dan mata pencaharian saya. Lalu apakah saya bisa secara serta-merta mengatakan bahwa komputer itu sangat penting kepada rekan-rekan saya yang profesinya adalah sebagai petani, guru atau dokter? Saya hanya bisa mengatakan kepada mereka bahwa komputer adalah dapat untuk mengakses informasi lebih dalam tentang suatu keilmuan, tetapi saya tidak bisa memaksakan bahwa kesenjangan informasi harus dijembatani dengan produk digital atau TI. 
==========


Kembali kepada fakta yang ada, sekarang kita dikejar oleh ketakutan akan semakin melebarnya kesenjangan digital antar siswa, antar pekerja, antar sekolah, antar institusi bahkan antar negara. Kita berlomba-lomba mengadopsi teknologi terkini, at any cost. Tidakkah terpikirkan oleh kita bahwa nafsu kita tersebut terkadan membuat kita memicingkan mata dan mencibirkan mulut kepada kaum the have nots? Kita kerap memandang lebih rendah derajat mereka yang tidak menggunakan komputer ataupun ponsel. 

Gaptek (gagap teknologi) istilah kita! Labelisasi gaptek dan pemahaman buta tentang kesenjangan digital memperburuk kondisi. Selain seperti yang ditulis oleh majalah Newsweek tentang semakin melebarnya rentang gaji dan semakin rendahnya gaji orang-orang yang tidak mampu memiliki keahlian komputer atau kerjanya tergantikan oleh komputer, hal tersebut membuat banyak pihak di Indonesia yang berjuang mendapatkan ilmu dan perangkat komputer. Keluarga, orang tua, anak, sekolah, guru dan murid yang belum atau belum perlu menggunakan komputer dan Internet, akhirnya harus tertatih-tatih berupaya mendatangkan "jendela dunia" digital tersebut dihadapan mereka, karena mereka tidak diberikan opsi untuk memilih alternatif untuk "tidak membeli" atau "tidak menggunakan", perangkat digital apapun bentuknya, berikut dengan solusi alternatifnya.

Dari sistem utangan (dari level ngutang ke tetangga sampai level ngutang ke lembaga donor dan negara lain) hingga sistem cicilan (dari level ngridit sampai level kartu kredit), dilakukan demi memiliki seperangkat alat digital yang sebenarnya belum benar-benar mereka butuhkan. Siapa yang paling diuntungkan? 

Ijinkan saya menutup tulisan ini dengan mengutip bagian pengantar dari buku The Digital Divide. 

"No technology, in itsef, will ever eliminate the diffrences that arise among people who effectively utilize a technology and those who do not. Internet content can be created to allows everyone the opportunity to leard read, and as a readers, take full advantage of the information resources that exist and are being created. The divide between those who can read well and those who cannot is a real divide."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar